Salehuddin Yasin : Idealisme Mahasiswa Vs Mahasiswa Ideal

  • 02:06 WITA
  • Margono Setiawan, S.S.
  • Artikel

Dekan FTK UIN Alauddin Makassar


Mahasiswa ideal bukan hanya dengan menjadi kutu buku dengan ciri kacamata minus tebal, atau yang hanya rajin mengikuti kuliah demi kuliah.

Mahasiswa ideal adalah yang juga berani bersentuhan dengan persoalan masyarakat. Namun sentuhannya didasarkan pada cita-cita ideal keilmuan yang bermakna, bukan lepas makna. Sehingga, ketika menjadi corong masyarakat, itu karena memang suara di loudspeaker-nya dibutuhkan pada ruang dan waktu yang tepat.
====
Banyak sorotan yang telah diarahkan pada perilaku mahasiswa saat ini. Sorotan terutama pada aktivitas demonstrasi yang dilakukannya. Mahasiswa bahkan sering diidentikkan dengan demonstrasi. Jalan raya di depan sebuah perguruan tinggi telah diketahui sebagai tempat yang empuk bagi aksi demonstrasi mereka.

Demonstrasi adalah ekspresi idealisme mahasiswa. Dengan demonstrasi, mahasiswa menyalurkan pikiran, pandangan, dan kritiknya. Demonstrasi selama ini sepertinya menjadi parlemen jalanan bagi mahasiswa.

Mengapa mahasiswa senang berdemonstrasi? Dengan mudah menjawabnya bahwa untuk menunjukkan protes terhadap kebijakan atau perilaku luar yang dianggapnya merugikan masyarakat, termasuk masyarakat kampus yang mereka wakili.

Lalu mengapa mereka sering melakukan demonstrasi di jalan raya? Itu adalah bagian dari upaya untuk mencari perhatian publik, dan hakikat demonstrasi adalah aksi yang seharusnya diperlihatkan. Karena bila dilakukan di dalam kampus,

ada kehawatiran bahwa suara mereka tidak langsung didengar oleh masyarakat atau pejalan raya. Bahkan ada kekhawatiran tidak diliput oleh media yang bisa diakses oleh masyarakat secara luas.
Persoalannya, mengapa mahasiswa sering terjebak pada aksi demonstrasi yang anarkis? Di sinilah masalahnya.

Kecenderungan pemahaman mahasiswa bahwa sebuah demonstrasi yang sukses bila menimbulkan dampak karena dampak itulah yang nantinya bakal menjadi pertimbangan pengambil kebijakan untuk menimbang ulang protes secara terbuka yang dilakukan oleh mahasiswa.

Karena dampak itulah, mahasiswa berdemo di jalan raya ramai yang sering menimbulkan masalah. Jalan raya bukanlah diperuntukkan untuk tempat demo. Jalan raya adalah tempat umum yang dilalui oleh orang-orang yang mempunyai hajatan, keperluan, atau urusan,

yang mungkin ada yang di antaranya yang sangat mendesak. Menghalangi mereka karena jalanan terblok tentu menjadi masalah tersendiri. Sementara urusan yang mereka jalankan bukan saja untuk kepentingan mereka sendiri.

Ketika mereka sudah berada di jalan raya, mahasiswa sangat rentan disusupi oleh pengaruh yang membuat mereka lepas kontrol karena provokasi dari orang-orang tertentu untuk mengarahkan mahasiswa bertindak anarkis, misalnya saat berhadapan dengan aparat keamanan.

Murni Idealisme?

Ironis memang selama ini, karena mahasiwa memperjuangkan nasib rakyat, termasuk nasib mereka yang terhalangi saat mahasiswa berdemo di jalan raya. Sebuah ironi karena yang diperjuangkan adalah sebuah cita-cita ideal menurut persepsi mahasiswa,

tapi terkadang cara memperjuangkannya adalah kontraproduktif dengan idealisme tersebut. Perjuangan dengan cara meresahkan pengguna jalan, merusak jalan raya karena membakar ban, menyebar polusi karena emisi dari ban yang terbakar, menyandera pengendara mobil tangki atau truk, tentu semuanya cara yang cenderung bertolak belakang dengan pencapaian idealisme itu.

Menjadi mahasiswa yang memiliki idealisme memang perlu. Mahasiswa selalu dikaitkan dengan idealisme, bahkan menjadi mahasiswa selalu diidentikkan dengan idealisme itu sendiri. Mahasiswa sering dilihat seperti kelompok terpelajar yang belum memiliki kepentingan politik praktis, sehingga gagasan dan pikiran mereka cenderung dianggap objektif.

Mahasiswa sering ditempatkan sebagai mereka yang belum terkooptasi oleh kepentingan materi karena hidup mereka belumlah dicekoki oleh peran materi yang terkadang menyelewengkan niat tulus. Mahasiswa sering dikaitkan dengan mereka yang apa adanya, tidak neko-neko, sehingga gerakan, pikiran, kritik dan aksi sosialnya dianggap sebagai murni untuk tujuan perubahan.

Namun, idealisme mahasiswa yang sering dilengketkan di atas belumlah cukup untuk mengantar mereka menjadi mahasiswa ideal. Mahasiswa yang melakukan demo secara anarkis adalah bisa saja mereka memiliki idealisme. Mereka digerakkan oleh idealisme yang mampu menggetarkan otak dan otot mereka untuk beraksi.

Mahasiswa ideal sejatinya dilihat dari sudut pandang aktivisme dan pemikiran. Dua hal yang berpadu dalam tradisi kehidupan kampus yang mereka lakoni. Dari segi aktivisme, gerakan mahasiswa telah menoreh catatan penting terhadap sejarah pencarian identitas bangsa ini,

mulai dari sejak awal berdirinya sebagai negara bangsa sampai pada kontribusinya yang menentukan pada lahirnya Orde Reformasi di negeri ini. Di sisi lain, dari mahasiswa-lah yang diharapkan muncul bibit pemikir pembangunan bangsa dengan pikiran-pikiran brilian yang mampu menerobos sekat-sekat keilmuan dan melahirkan pencerahan pengetahuan untuk kesejahteraan masyarakat.

Artinya, menempatkan mahasiswa dalam kerangka ideal memang perlu melihat dari dua unsur tersebut. Mahasiswa ideal dalam perspektif penulis adalah bukan karena semata yang mempunyai idealisme. Mahasiswa ideal adalah yang mampu menampilkan idealismenya dengan cara yang elegan.

Mereka mampu melihat secara jelas cara yang terbaik mengekspresikan idenya. Mereka melihat bahwa cara-cara yang banyak dilakukan selama ini bukanlah sesuatu yang ideal. Mereka mampu melihat indikator tidak idealnya cara tersebut.

Misalnya, banyaknya keluhan dari masyarakat umum apakah melalui bincang-bincang di gardu, melalui sms dan surat pembaca di media dan juga keprihatinan dari pemerintah sendiri atas ulah tersebut.

Singkatnya, menjadi mahasiswa ideal adalah mereka yang mampu membaca dan mengalkulasi efek dari aksi-aksi mereka, termasuk efek berupa pandangan masyarakat luas. Mahasiswa ideal adalah mereka yang turun ke jalan raya bila memang masyarakat secara luas menghendakinya.

Mahasiswa ideal adalah mereka ingin memecahkan masalah masyarakat tanpa menimbulkan masalah lebih besar seperti yang sering terjadi selama ini.

Mahasiswa ideal adalah mereka yang aksinya selalu mempertimbangkan tanggung jawab pencitraan. Mereka mempertimbangkan citra yang harus dipelihara di pundaknya, apakah sebagai harapan orang tua, pemuda harapan umat, calon intelektual negeri, dan pelanjut generasi bangsa.

Mereka berbuat atas dasar pertimbangan pencitraan dan tanggung jawab sosialnya tersebut. Bila aksinya mengancam beban pencitraan tersebut, maka mereka tidak akan melakukannya.

Mahasiswa ideal adalah mereka yang berorientasi pada pemberdayaan pemikiran, yaitu yang rajin melakukan pengasahan intelektual. Mereka sadar bahwa mengasah intelektual tentunya tidak bisa dilakukan di jalan raya atau di pintu gerbang kampus.

Mengasa intelektualitas sejatinya dilakukan di meja kelas, di perpustakaan, di pusat-pusat kajian dan pengkaderan. Pengasahan intelektualisme inilah yang merajut mahasiswa untuk memiliki ketajaman berpikir.

Ketajaman berpikir inilah yang kelak diharapkannya sebagai modal penting setelah meninggalkan kampus. Pikiran-pikiran mencerahkan adalah hal yang sangat berguna untuk dibagi ke masyarakat. Singkatnya, mahasiswa ideal adalah mereka yang tercerahkan.

Dalam kaitan dengan visi UIN Alauddin sebagai lembaga pendidikan Islam tempat menggodok mahasiswa, mahasiswa ideal adalah mereka yang memiliki "inner power" atau istilah Rektor UIN Alauddin adalah "inner capacity".

Inner capacity yang menjadi visi pengembangan UIN Alauddin pada masa kepemimpinan Azhar Arsyad setidaknya memiliki empat aspek penting. Pertama, pembelajaran mahasiswa untuk menjadikan mereka memiliki perangkat akhlak mulia. Dengan orientasi pendidikan untuk pembenahan akhlak mulia, perilaku mahasiswa diharapkan mampu menampilkan perilaku yang menenangkan bukan meresahkan.

Aspek pertama ini tentunya mencegah demonstrasi yang anarkis dan tidak produktif. Aspek berikutnya, mahasiswa yang terampil. Mahasiswa yang terampil inilah yang mengarahkan pada kemampuannya untuk hidup secara layak di masyarakat.

Aspek berikutnya adalah mahasiswa yang berpengetahuan luas. Mereka memiliki wawasan yang diperlukan untuk berkontribusi pada kompleksitas kehidupan, termasuk pengetahuan bahasa asing. Aspek yang terakhir adalah kemampuan berpikir bebas.

Mahasiswa dengan aspek ini akan memiliki kreativitas dan kemampuan berimajinasi serta improvisasi dalam penjelajahan ilmu. Karena memiliki akhlak yang mulia, pemikiran bebas yang dimilikinya tidak dihawatirkan untuk menimbulkan keresahan sosial.

Menjadi mahasiswa ideal tidak perlu menjadi spiderman, sebuah cerita fiksi manusia laba-laba yang bisa terbang dan melengket di gedung-gedung tinggi sebagai penyelamat setiap ada anggota masyarakat yang menghadapi masalah,

karena memang itu hanya dalam cerita komik dan film Hollywood yang tidak mungkin dilakukan bukan hanya oleh mahasiswa, tetapi manusia secara umum. Untuk menjadi ideal, mahasiswa hanya perlu menyelamatkan dirinya dari "korban" idealisme,

yaitu mereka yang hanya menjadikan demonstrasi sebagai kompensasi kesemrawutan kuliahnya, dengan gagah-gagahan berteriak di jalan dikelilingi gumpalan asap ban yang dibakarnya.