MENAPAK HARI SANTRI REKATKAN PERSATUAN BANGSA

  • 08:21 WITA
  • Margono Setiawan, S.S.
  • Artikel

Transformasi pendidikan pesantren tidak bisa dipisahkan dengan perubahan sosial yang terjadi di masyarakat secara kolektif. Perubahan sosial yang ditimbulkan oleh revolusi politik, revolusi industri, dan urbanisasi membawa dampak besar pada ranah religi. Semakin kom¬pleksnya kebutuhan masyarakat pada masa pandemic, membuat tanggung jawab pesantren pun semakin kompleks. Mengingat posisinya yang tidak hanya dianggap sebagai lembaga pendi¬dikan Islam yang khas, melainkan juga lembaga yang memiliki fungsi kontrol sosial, bahkan dipandang sebagai lembaga yang berperan dalam rekayasa social, sehingga pesantren harus betul-betul secara serius mencetak para santri yang senantiasa bertransformasi pada era milenial yang peka terhadap kehidupan sosial.

Dalam konteks hari santri 22 Oktober 2020 setidaknya ada empat peran santri yang bisa dilakukan dalam menghadapi tantangan global saat ini.

Pertama, santri harus terus berperan menjadi mercusuar ditengah masyarakat dalam menjelaskan idiologi Islam yang rahmatan lil ‘alamiin. Dalam menjawab tantangan global dan kontemporer, santri harus mampu menjelaskan dan menjadi pembeda. Menanamkan pemikiran yang moderat (tawasuth) dan melawan pemikiran yang ekstrim, dan mampu menjelaskan karakter-karakter Islam yang selalu berimbang (tawazun) dan toleran (tasamuh),” para santri nusantara diharapkan menjaga tradisi (al-muhafadhah ‘alal khadimushalih) dan melakukan transformasi (al-ahdu bil-jadidil ashlah) tapi juga harus melakukan perubahan dan inovasi secara berkelanjutan.

Kedua, para santri perlu mengambil berperan aktif dan berkontribusi pada perdamaian dunia. Peran ini dibutuhkan untuk memperkuat inisiatif-inisiatif yang telah dilakukan Pemerintah Indonesia yang selama ini sangat aktif dalam berkontribusi kepada upaya perdamaian dunia. Peran santri perlu didukung dan dilengkapi dengan apa yang disebut second track diplomacy,melalui dialog-dialog antaragama, antarbudaya, dan antarperadaban, yang menampilkan Islam yang moderat dan toleran, serta kebijakan negara yang mendukung demokrasi dan perlindungan hak-hak asasi manusia, termasuk bagi kelompok minoritas.

Ketiga, para santri perlu memiliki intelektual yang luas dengan  jejaring yang kuat dan komitmen yang tinggi karena ciri khas santri nusantara adalah bertutur kata dengan kata kata yang santung, arif dan penuh hikma, berpikir secara rasional dan bertindak dengan nilai karakter.

Keempat, Santri harus mampu menjadi perekat persatuan bangsa. Karena persatuan adalah kunci bangsa untuk eksis dalam menyonsong peradaban pada era datang sehingga mentalitas dan semangat untuk bersatu ini harus terus diperkokoh di tengah-tengah adanya perbedaan antarkelompok yang semakin tajam. Persatuan dan kerukunan tidak hanya dalam hubungan antarumat atau organisasi Islam, tetapi juga dengan umat agama lain.

Dengan hari santri maka diharapkan para santri harus bisa melakukan perubahan perubahan, kemampuan beradaptasi dan ikut serta mengawal ke-indonesia-an, dan terlibat memerangi gerakan-gerakan trans nasional yang mengancam ideologi negara, tidak berhenti disitu, santri dituntut untuk memiliki intelektual yang luas, yang bisa menggabungkan antara kehidupan dunia dan akhirat. Hal itu merupakan tantangan baru bagi kaum santri yang dulunya santri mempunyai tantangan melawan kolonial Belanda, tetapi sekarang tantangan santri sudah semakin kompleks, santri harus bisa mempersiapkan melawam penjajah yang sudah berbeda bentuk dari zaman dulu.

Di era sekarang tantangan santri sangat berbeda, dengan kemajuan zaman dan perkembangan  globalisasi. Di samping menekuni kajian keagamaan yang sangat kental, seperti kajian kitab kuning, moral, tata krama, tawadhu’ kepada masayikh, santri harus mengimbanginya dengan kemampuan intelektualnya. Yaitu dengan mengkolaborasikan pendidikan agama dengan pendidikan umum. Karenanya, jika santri hanya mengandalkan ilmu din (ilmu agama), akan sulit untuk bersaing di era milenial. Santri tidak boleh alfa pada peran sosial kemasyarakatan