Muchlis Muslim : Siapa Menjamin Mutu Pendidikan?

  • 12:00 WITA
  • Margono Setiawan, S.S.
  • Artikel

Alumni Prodi pendidikan Biologi, FTK UIN Alauddin Makassar

Tidak semua yang bermutu itu harus mahal. Tidak selalu yang tidak bermutu itu murahan. Pun tidak semua yang mahal, pasti bermutu. Jadi, sangat tergantung dari mana memandangnya. Penyedia barang atau jasa memiliki ukuran atau kriteria sendiri terhadap apa yang disebut mutu, atas hasil produksinya atau jasa yang ditawarkannya. Dalam istilah lain disebut mutu sesungguhnya (quality in fact). Sedangkan pengguna barang atau pemanfaat jasa juga memiliki ukuran sendiri terhadap barang atau jasa yang dibelinya.

Repotnya, kalau dalam barang atau jasa itu menyangkut kepentingan dasar, dan saling terkait dengan banyak pihak. Contohnya adalah di bidang pendidikan. Setiap orang membutuhkan pendidikan. Penyedia jasa pendidikan juga menjamur. Pemerintah yang memiliki kewajiban menyediakan jasa publik (public services) menggandeng peran dan partisipasi masyarakat (swasta).

Edward Salis dapat dipandang sebagai pelopor yang paling rajin mengaitkan proses penentuan mutu dalam industri, diterapkan dalam pendidikan. Dapat dimengerti karena memang rangkaian proses penentuan mutu pada dunia industri, sesungguhnya tak jauh berbeda dengan pendidikan. Introdusir dalam konsep mutu adalah pada semua titik-titik proses produksi atau pada semua mata rantai proses pelayanan. Konsep mutu kemudian berkembang sebagai proses perbaikan terus-menerus.

Di media, sekarang ini dipolemikkan soal ujian nasional, akreditasi bagi sekolah, dan akreditasi bagi program studi dan perguruan tinggi. Ujian nasional berkutat pada persoalan kegunaan dari dilaksanakannya ujian itu sendiri. Akreditasi sekolah berpusar pada problem daya dukung pelaksanaan mengingat banyaknya sekolah yang harus diakreditasi dan target waktu yang terbatas.

Sementara di perguruan tinggi, Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi (BAN-PT) berkukuh dengan mekanisme, prosedur, dan kriteria yang menjadi tugas dan fungsinya. Segenap instrumen pengukuran kuantitatif, yang diharapkan lebih objektif, disiapkan sebagai perangkat untuk melakukan proses akreditasi suatu perguruan tinggi atau program studi.

Sebenarnya ada kata kunci untuk penjaminan mutu pendidikan, khususnya di pendidikan tinggi: input, proses, output. Segala perangkat terkait harus benar-benar direncanakan. Selanjutnya apa yang disebut bebas dari kecacatan (zero defects), selalu baik sejak awal (righ first time and every time), perbaikan secara terus-menerus (continuous improvement), menentukan standar, perubahan kultur, perubahan organisasi, dan mempertahankan hubungan dengan pelanggan. Yang juga penting adalah komitmen dan kesadaran akan makna mutu itu sendiri.

Para pengelola perguruan tinggi, sebagian menuding kinerja lembaga pengakreditasi kurang cepat dan tanggap terhadap situasi dan kondisi kekinian yang dihadapi program studi maupun perguruan tinggi. Kriteria yang disusun sebagai acuan untuk mengukur dimensi-dimensi dalam proses akreditasi, dianggap tidak seirama dengan berbagai keterbatasan yang ada.

Diskusi ini melibatkan banyak pakar dan guru besar, yang juga pengelola perguruan tinggi. Sementara masyarakat adalah pihak yang paling rentan dengan risiko “ketidakjelasan” status akreditasi suatu program studi. Masyarakat di sini adalah para calon mahasiswa, mahasiswa, maupun pengguna.

Di sisi lain, ada banyak warna dalam pengelolaan program studi, menghadapi kebutuhan akreditasi. Tapi tentu saja, berbagai cara ditempuh dalam rangka menyiapkan persyaratan akreditasi. Di sini, tidak menutup kemungkinan ada pihak yang menyiapkan segala sesuatunya secara instan. Namun ada juga yang menyiapkan perangkat keras dan perangkat lunak yang menjadi prasyarat mutlak suatu pengelola pendidikan tinggi dengan sepenuh hati.

Penulis mengkhawatirkan dibelokkannya akreditasi oleh pihak-pihak tertentu. Selama ini, hasil akreditasi dijadikan sales point, dan seakan-akan itu merupakan mutiara. Memang secara legal formal, hal ini dapat menjadi jaminan. Tetapi secara faktual, jika pemenuhan persyaratan akreditasi dilakukan secara instan, itu sangat berisiko.

Pemenuhan terhadap persyaratan minimum, terkadang sulit dibedakan dengan level kriteria di atasnya. Apalagi jika terjadi dinamika dalam jumlah pengguna/pemanfaat jasa, yang tidak dibarengi dengan penyediaan sumber daya yang sebanding.

Dalam situasi persaingan memperebutkan pelanggan, simbol-simbul mutu menjadi penting bagi suatu institusi. Tidak salah memang apabila menjadikan simbol-simbol tersebut sebagai maskot dalam mempromosikan produk/jasanya. Bahkan hampir semua media promosi, selalui dilekatkan dengan simbol-simbol yang mengaitkan suatu institusi dengan konsep mutu yang dicitrakan oleh penyedia jasa. Dengan demikian, diharapkan para pelanggan dan calon pelanggan dapat memahami dan kemudian memilih jasa mereka. Yang penting adalah kebenaran faktual antara yang dijanjikan dengan proses dan sarana/prasarana yang disediakan dan tetap menyelaraskan dengan tuntutan perkembangan.

Dalam kondisi banyak penyedia jasa pendidikan, tidak hanya di perguruan tinggi, maka pada dasarnya masyarakat memiliki banyak pilihan. Untuk itu, diperlukan pengetahuan untuk dapat menentukan pilihan yang terbaik dan sesuai. Institusi pendidikan itu sendiri dituntut untuk dapat memberikan informasi yang sebenarnya. Karena ini menyangkut pendidikan yang berimplikasi jangka panjang maka alangkah bijaksana jika kita bertindak cermat, seperti kata pepatah; teliti sebelum membeli. Kita tahu, untuk mengikuti pendidikan, biasanya suatu keluarga mengerahkan segala sumber daya yang dimiliki, demi pendidikan anaknya.

Berbagai upaya dilakukan pemerintah dalam rangka menjaga konsistensi antara fakta, data, proses, dan hasil dari proses assesment dalam akreditasi. Diharapkan dampaknya sesuai dengan filosofis diterapkannya akreditasi itu sendiri. Yang juga penting adalah sosialisasi tentang kriteria institusi pendidikan.